Minggu, 06 Juli 2014 0 komentar

Cerpen dan Puisi



Dalam salah satu diskusi yang pernah kulakukan semasa kuliah, ada seorang teman yang bertanya mengenai perbedaan puisi dan prosa. Belakangan ini batas antara puisi dan prosa memang semakin kabur. Mungkin hal tersebut yang melatarbelakangi teman itu bertanya demikian. Kita bisa melihat puisi yang panjang dan di dalamnya ada percakapan, bak prosa. Kita bisa pula melihat prosa yang menggunakan susunan kata-kata yang indah laksana puisi, atau pun prosa yang isinya disisipi penggalan puisi.
Setahun setelah diskusi, aku meminjam “Isyarat Kumpulan Esai” Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari perpustakaan wilayah. Buku tersebut memuat puisi-puisi dan esai SCB yang pernah diterbitkan. Pada halaman 75 sampai 79 terdapat esai yang berjudul Cerpen dan puisi yang pernah diterbitkan Bentara, Kompas, Jumat, 6 April 2001, setelah membacanya, aku tertarik pada beberapa paragraf terkahir esai tersebut. Isi paragraf itu sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh teman tersebut.
Berikut ini saya sajikan kutipan paragrafnya:

 ...............
Apa sih bedanya kata-kata yang dalam puisi dan dalam prosa seperti cerpen, kata Zenar tiba-tiba serius, sambil mengingatkanku perbedaan pendapatku terhadap penilaian Ignas Kleden tentang sebuah cerpenku yang pernah secara sambil lalu aku ucapkan dalam perbincangan kami di Café Miranda.
Secara ekstrem, atau garis besarnya, dalam puisi penyair menciptakan kata-kata (metafora), dalam cerpen pengarang menciptakan peristiwa-peristiwa. Konsentrasi seorang penyair ketika menulis puisi terutama adalah pada upaya menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata. Di situlah makna dapat diraih. Kecenderungan untuk mendapatkan makna dari menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata, itulah sebabnya kenapa kata-kata dalam puisi kelihatan aneh atau tidak familiar. Dalam cerpen, kata-kata menjadi sekunder. Yang utama adalah peristiwa, kata-kata adalah alat untuk menyampaikan atau menciptakan peristiwa-peristiwa. Makna diperoleh dari interaksi atau susunan peristiwa-peristiwa itu. Dalam puisi, tekanan pada defamilarisasi kata-kata atau bahasa. Dalam prosa, tekanan diarahkan pada defamiliarisasi peristiwa. Itulah sebabnya dalam cerpen pembaca sering menemukan peristiwa yang aneh, misalnya orang yang selangit rasa laparnya bisa dengan nyaman dan ngampang menelan seekor gajah utuh. Makna cerpen diraih dari interaksi dua peristiwa yakni lapar selangit dan menelan gajah.
Tentu saja aku sedang berbicara secara ekstrem atau hitam putih sebagai landasan umum dalam memandang kedua jenis karya sastra itu. Kini tak jarang antara karya puisi dan prosa saling tumpah-tindih, campur-baur. Namun demikian, mengharapkan makna kata-kata dari seorang penyair yang meniatkan suatu cerpennya benar-benar cerpen (bukan prosa lirik) aku kira bukan hal yang tepat. Sikap atau penilaian itu mungkin terjadi karena bias dari pembaca akibat penulisnya lebih dikenal sebagai penyair. Dalam kasus ini pada hematku, Zenar, teks dan author benar-benar harus dipisahkan. Author yang lazimnya menulis puisi tentu bebas pula untuk meniatkan dirinya menulis cerpen yang benar-benar prosa. Mengharapkannya agar menciptakan makna kata-kata sebagaimana halnya dalam puisi tentu saja menjadi kurang tepat.




 
;