Dalam salah satu diskusi yang pernah kulakukan semasa
kuliah, ada seorang teman yang bertanya mengenai perbedaan puisi dan prosa.
Belakangan ini batas antara puisi dan prosa memang semakin kabur. Mungkin hal
tersebut yang melatarbelakangi teman itu bertanya demikian. Kita bisa
melihat puisi yang panjang dan di dalamnya ada percakapan, bak prosa. Kita bisa
pula melihat prosa yang menggunakan susunan kata-kata yang indah laksana puisi,
atau pun prosa yang isinya disisipi penggalan puisi.
Setahun setelah diskusi, aku meminjam “Isyarat Kumpulan Esai” Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari perpustakaan wilayah. Buku tersebut
memuat puisi-puisi dan esai SCB yang pernah diterbitkan. Pada halaman 75 sampai
79 terdapat esai yang berjudul Cerpen
dan puisi yang pernah diterbitkan Bentara, Kompas, Jumat, 6 April 2001, setelah membacanya, aku tertarik pada beberapa paragraf terkahir esai tersebut.
Isi paragraf itu sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh
teman tersebut.
Berikut
ini saya sajikan kutipan paragrafnya:
...............
Apa sih bedanya kata-kata yang dalam puisi dan
dalam prosa seperti cerpen, kata Zenar
tiba-tiba serius, sambil mengingatkanku perbedaan pendapatku terhadap penilaian
Ignas Kleden tentang sebuah cerpenku yang pernah secara sambil lalu aku ucapkan
dalam perbincangan kami di Café Miranda.
Secara ekstrem, atau garis besarnya, dalam puisi penyair
menciptakan kata-kata (metafora), dalam cerpen pengarang menciptakan
peristiwa-peristiwa. Konsentrasi seorang penyair ketika menulis puisi terutama
adalah pada upaya menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata. Di situlah
makna dapat diraih. Kecenderungan untuk mendapatkan makna dari menciptakan
kata-kata atau susunan kata-kata, itulah sebabnya kenapa kata-kata dalam puisi
kelihatan aneh atau tidak familiar. Dalam cerpen, kata-kata menjadi sekunder.
Yang utama adalah peristiwa, kata-kata adalah alat untuk menyampaikan atau
menciptakan peristiwa-peristiwa. Makna diperoleh dari interaksi atau susunan
peristiwa-peristiwa itu. Dalam puisi, tekanan pada defamilarisasi kata-kata
atau bahasa. Dalam prosa, tekanan diarahkan pada defamiliarisasi peristiwa.
Itulah sebabnya dalam cerpen pembaca sering menemukan peristiwa yang aneh,
misalnya orang yang selangit rasa laparnya bisa dengan nyaman dan ngampang
menelan seekor gajah utuh. Makna cerpen diraih dari interaksi dua peristiwa
yakni lapar selangit dan menelan gajah.
Tentu saja aku sedang berbicara secara ekstrem atau hitam
putih sebagai landasan umum dalam memandang kedua jenis karya sastra itu. Kini
tak jarang antara karya puisi dan prosa saling tumpah-tindih, campur-baur. Namun
demikian, mengharapkan makna kata-kata dari seorang penyair yang meniatkan
suatu cerpennya benar-benar cerpen (bukan prosa lirik) aku kira bukan hal yang
tepat. Sikap atau penilaian itu mungkin terjadi karena bias dari pembaca akibat penulisnya lebih dikenal sebagai penyair. Dalam
kasus ini pada hematku, Zenar, teks dan author
benar-benar harus dipisahkan. Author
yang lazimnya menulis puisi tentu bebas pula untuk meniatkan dirinya menulis
cerpen yang benar-benar prosa. Mengharapkannya agar menciptakan makna kata-kata
sebagaimana halnya dalam puisi tentu saja menjadi kurang tepat.